Avant-Gardis dalam Sudut Pandang Modern oleh Jürgen Habermas



Habermas dalam tulisannya Modernity-An Incomlete Project, telah menguraikan bagaimana perjalanan peralihan modernitas menuju ke post-modernis dalam sudut pandang modern. Habermas agaknya kurang setuju dengan istilah post-modernity, post-enlightenment hingga post-history. Menurutnya, istilah-istilah tersebut merupakan ciptaan orang-orang neo-konservatif yang tidak paham betul mengenai modernisme. 


Modernisme merupakan istilah yang dipakai untuk membatasi era antara zaman paganisme dan monoteisme, khusnya pada era Roma menuju era Kristen. Modernisme juga ditujukan pada era Renaisance abad ke 15 yang merujuk pada kebangkitan filsafat Yunani kuno. Lebih singkatnya modernisme merukapan perubahan sosial untuk memperoleh hal yang baru. Dalam konteks ini, Habermas menekankan dasar budaya moderninitas menurut Max Weber adalah upaya untuk memisahkan agama dan metafisika menjadi sains, moralitas dan seni. Hal tersebut berakar dari permasalahan yang sudah diwariskan dari sejak abad 18 yaitu mengenai kebenaran, etika, keaslian dan keindahan. Dari hal tersebutlah yang akhirnya melahirkan pertanyaan mengenai pengetahuan, keadilan, moral dan rasa yang semuanya berlandaskan dengan rasio atau logika. Modernisme adalah era dalam upaya untuk menjawab pertanyaan itu yang akhirnya menciptakan tiga struktur dimensi dalam budaya, yaitu cognitive-instrumental, moral-practical dan aesthetic-expressive rationality.

Menurut Habermas, para kaum neo-konservatif tersebut seperti sama halnya ingin mengulang kesalahan baru dalam modernitas, yaitu menciptakan hal baru dengan memutuskan hubungan dengan sejarah sebelumnya. Seperti apa yang terjadi pada modernisme yang benar-benar membatasi dan meninggalkan zaman pagan atau antik dengan meninggikan rasionalitas. Padahal yang kemudian terjadi adalah tirani baru seperti apa yang terjadi dalam kaum sosialisme di Soviet.

Hal yang menjadi titik berat permasalahan modernitas menurut Habermas adalah rasio yang berpusat pada subjektifitas, rasionalitas subjektif dengan berkonsep rasio yang otonom dan konsep manusia dalam ruang lingkup humanisme Barat. Prinsip subjektifitas tersebut menganggap bahwa hakikat manusia adalah individu yang otonom yang bebas dari segala bentuk kuasa eksternal atau dari luar diri. Dengan kata lain, subjektivitas membuat normativitasnya sendiri yang menyadari nilainya sebagai sesuatu yang dengan kemauan atau kehendak sendiri.

Dalam konsep rasionalitas subjektif Habermas, estetika dipandang sebagai kritik sosial yang dapat berperan. Rasionalitas subjektif dalam modernitas merupakan rasio yang otonom. Rasionalitas subjektif menghasilkan kritik yang kemudian menghasilkan norma, sistem sosial maupun norma yang seakan-akan nampak objektif tapi sebenarnya tidak jauh dari satu kepentingan tertentu yang mendominasi. Salah satu produk tersebut adalah seperti karya seni. Seni menurut Habermas memiliki sifat politis yang mampu mengungkap ideologi tersembunyi yang dihasilkan dari sejarah represi atau penekanan. Maka dari itu dengan sudut pandnag post-modernis, Habermas mendukung seni avant-garde, yang pada masa itu mucul gerakan dadaisme dan surealisme.


Habermas memandang bahwa seni avant-garde pada waktu itu hendak meleburkan kembali pemikiran seni yang otonom dan mengeksklusifkan dirinya dari kehidupan sehari-hari. Melalui gerakan surealisme ini, seni hendak selangkah lebih maju dari kehidupan kaum modernis. Gerakan surealis mengabstraksi kehidupan paraksis yang tidak dibatasi lagi oleh moral dan aspek elemen estetis. Denga kata lain seni dalam era modern ini hendak meniadakan "seni" itu sendiri dalam essens "everyday life". Namun, nyatanya pada beberapa aspek pemberontakan surealisme ini seperti tidak memiliki harapan. Hal tersebut dikarenakan pendekatan estetisnya yang berdasarkan oleh pengalaman sehari-hari, subjektif, dan belum dapat sepenuhnya diterima oleh masyarakat yang secara umum masih berpegang pada tradisi modern. Pendapat tersebut diperkuat oleh Walter Benjamin mengenai karya seni yang auratik.

Pada akhirnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah modernitas dapat dikatakan sebagai pencerahan namun apa yang dapat kita lakukan jika sejarah modernitas itu sendiri telah usai. Habermas menyimpulkan bahwa ide dari kaum anti modern (neo-konservatif) yang bersatu dengan kaum premodern dapat menjadi populer dan menciptakan budaya alternatif. Menurutnya semangat dari liberalisme, kesadaran rasionalitas yang subjektif dan otonom dapat mencerahkan perkembangan keilmuan dan kebudayaan dikemudian hari.


Esai ini dibuat merujuk pada tulisan Jürgen Habermas mengenai modernitas dalam kumpulan esai yang dieditori oleh Hal Foster.
Foster, Hal. 1987. The Anti-Aesthetic. Essay on Postmodern Culture. Washington: Bay Press.
Sumber gambar :
http://www.chuckmaultsby.net/id109.html
http://urania-josegalisifilho.blogspot.co.id/2012/01/modernityan-incomplete-project-jurgen.html
S

Comments

  1. Menarik.. bagus juga pembahasannya. Tapi kayanya alurnya masih rada kurang ngalir gitu. Saya sebagai pembaca masih butuh baca bolak balik buat memahami ini arah yang lg dibicarainnya ke mana nih. Begitu barangkali yg bisa saya komentari.

    ReplyDelete

Post a Comment