Feminisme Sebagai Kritik dalam Teori Seni
ditulis sebagai rangkuman merujuk pada esai Feminism and Art
Theory oleh Marsha Meskimmon.
I think that the term ‘transdisciplinary’ is a rather adequate one in describing the new rhizomatic mode in feminism. It means going in between different discursive fields, passing through diverse spheres of intellectual discourse. The feminist theoretician today can only be ‘in transit’, moving on, passing through, creating connections where things were previously disconnected or seemed unrelated, where there seemed to be ‘nothing to see’. – Rossi Bradotti
Sebagai
awalan, Meskimmon menjelaskan paradigma feminisme di sini dengan bertitik tolak
dari gambaran pernyataan Rossi Bradotti bahwa paham feminisme merupakan sebuah transdisiplin yang mengacu pada konsep nomadic subjectivity. Nomadic
subjectivity merupakan istilah
yang merujuk pada tidak adanya satu sudut pandang yang tetap. Dengan begitu paradigma
feminisme memiliki cakupan luas yaitu keterkaitan antara sosioplotik,
intelektual dan strategi yang menantang konvensi dari suatu kekuasaan yang
mengatur hubungan berdasarkan jenis kelamin dan gender.
Pada
dasarnya feminisme mempertanyakan struktur yang membuat hubungan jenis kelamin
dan gender terlihat natural, kekal dan tetap. Bagi para penganut paham feminis,
struktur tersebut merupakan konstruksi budaya yang berasal dari kekuasaan antar
individu-individu yang diatur dan dipelihara, bahwa perempuan adalah 'lawan' dari laki-laki. Dengan begitu logika
struktural patriarki tampak lumrah.
Dipahami
dengan cara ini, feminisme sebenarnya tidak mencari untuk menemukan bahasa baru
atau teori baru yang ideal maupun bersih hubungannya dari wacana palogosentris
(phallogocentric), tetapi fokus pada cara teks, objek, image dan ide yang ada
di sekitar untuk dipertanyakan ulang sehingga menjadi kesimpulan yang berbeda. Dalam
seni, teori feminis berperan penting dalam membongkar hierarki tardisional
antara seniman, ahli teori, kritikus, sejarawan, kurator, penjual dan
patron-patron. Dalam praktiknya, feminisme mengkritik hierarki yang menjaga hak
institusional maskulin dan mengubah strukturnya untuk mendorong naiknya
partisipasi perempuan dalam budaya visual.
Melalui
paradigma feminis, kita dibawa masuk ke celah sempit dalam sejarah seni. Bahwa
ortodoksi sejarah seni bisa saja merupakan konvensi kekuasaan tertentu karena
sejarah sesungguhnya heterodoks. Sehingga sebuah penelitian ulang perlu dikembangkan dengan mendeskripsikan kecenderung luas, menyatukan variasi-variasi yang hampir
tidak kentara dan membagi cerita-cerita yang linear dari suatu periode yang
fokus pada sedikit penulis dan seniman yang memiliki paradigma feminis.
Salah satunya seperti pada tahun 1970, kritikus
dan kurator Lucy Lippard dan seniman Judy Chicago yang dikonstruksikan sebagai
anti-teoritikal dan esensialis, mereka mempertahankan ketertarikannya terhadap
estetika feminis dan menggambarkan tubuh perempuan dalam seninya. Selain
itu ahli teori feminis Amerika, pada tahun 1970, Linda Nochlin dan Ann Sutherland
Harris, yang terlihat memperkuat sebuah tradisi liberalisme dengan menambahkan
nama-nama perempuan dari kanon sejarah seni. Pameran seniman perempuan pertama dalam skala
internasional pada tahun 1976 beserta katalognya yang bertajuk Women Artists
1550-1950 oleh Ann Sutherland dan Linda Nochlin menampilkan karya dari 83
seniman dari 12 negara. Merupakan bentuk
dukungan dan momentum terhadap gerakan seni feminis. Hal ini merupakan salah satu bentuk
pembalasan klise tentang ketidak hadiran perempuan dalam sejarah.
Kemudian terdapat juga jejak seniman perempuan
Inggris, yaitu Mary Kelly dengan karyanya yang dideskripsikan sebagai
“scripto-visual” dan mementingkan “konstruksi” dari subjektifitas perempuan
dari pada esensinya.
Selain
contoh-contoh diatas, ternyata pada tahun 1970-1980 praktik dan teori seni
feminis terdapat banyak diluar sumbu Anglo-Amerika yang tak kalah penting dalam
mendokumentasikan praktik kehadiran perempuan dalam sejarah seni. Seperti
contohnya di Jerman, terdapat proyek-proyek kreatif seperti proyek Museum Das
Verborgene (1987) atau dalam bahasa inggris berarti The Hidden Museum yang digagas oleh dua
seniman asal Berlin, Evelyn Kuwertz dan Gisela Breitling. Proyek ini fokus memamerkan karya-karya seniman perempuan yang dianggap
‘dilupakan’ pada era itu.
Di Amerika
Serikat sendiri, ternyata keilmuan Feminis masih sering membagi perempuan dalam
perbedaan ras dan etnis. Dominasi teori seni feminis Anglo-Amerika cenderung
mengaburkan beragam intervensi yang dilakukan oleh seniman feminis dan kritikus
di seluruh dunia. Dominan kelas menengah, kulit putih, dan sudut pandang
heteroseksual sering mengecualikan kelas pekerja, etnis minoritas dan
perspektif lesbian.
Adanya
perbedaan yang diabaikan di antara perempuan sendiri akhirnya menimbulkan
krtitik feminis monolitik yang telah menjadikan perempuan unit homogen. Kritik
ini kuat karena tidak hanya terdiri dari cara berpikir orang-orang di luar
budaya yang berkuasa tetapi juga meledakan mitos perbedaan ras dan konstruksi
normalitas seksual. Kritik ini yang akhirnya membuka heterogenitas dan
perbedaan sebagai metode konseptual yang berlaku dalam berpikir subjektif
secara umum.
Trinh
T. Minh-Ha seorang filmmaker Vietnam yang mengeksplorasi budaya Amer-Asian.
Kemudian Ntozake Shange menggunakan peformance art sebagai strategi dalam
membawakan perspektif ‘Afrofemcentrisme’, yaitu perspektif perempuan berkulit
hitam, Afrika-Amerika, pada tahun 1975 bertajuk For Colored Girls Who Have
Considered Suicide/When The Rainbow Is Enuf .
Sedangkan
di Inggris sendiri pada tahun 1980 terdapat gerakan seni kelompok perempuan
berkulit hitam yang berdiri diatas pengakuan adanya perbedaan yang muncul
anatara perempuan. Hingga diterbitkan majalah Passion pada tahun 1990
dengan editor seniman perempuan berkulit hitam Maud Sulter. Majalah ini
fokus pada teks ilmiah, puisi, foto-esai, gambar dokumenter dan siaran pers.
Majalah ini memiliki politik eksplisit sebuah perbedaan bahwa kelompok
perempuan kulit hitam di Inggris adalah kelompok heterogen yang terdiri dari
perempuan Afrika, Karibia, dan Asia yang berasal dari beragam agama, tradisi
dan beberapa kelas.
Konsep
heterogenitas juga mempengaruhi pada feminisme lesbian hingga melahirkan Queer
Theory, yang membalas kecenderungan ortodoksi feminisme tunggal dalam
literatur. Kontribusi lesbian dengan sejarah budaya perempuan dari literatur politik,
pertunjukan seni dan visual sangat luar biasa.
Disamping catatan sejarah mengenai praktik seni feminis,
yang tak kalah penting adalah perdebatan mengenai tubuh, mengingat tubuh telah menjadi pokok teori dan
praktik seni feminis. Perdebatan tersebut mengeksplorasi beberapa hal mengenai
personal dan politik, kondisi psikologi seseorang dan pembatasan sosial dari
politik tubuh. Pendekatan baru mengenai ‘tubuh’ membantu kita memikirkan
kembali sejarah masa lalu praktik seni perempuan sebanyak mungkin untuk
menghasilkan karya kritis pada seni kontemporer.
Ada sebuah
istilah Man Gaze, yaitu sudut pandang
laki-laki yang telah menjadi dominan
pada sinema-sinema mainstream dan kanonik dalam seni rupa barat. Sudut pandang
dominan ini merupakan konvensi tradisional tentang 'melihat' yang
mengobjektifkan dan menguasai tubuh- pada paham feminis disebut sebagai 'tatapan
maskulin'. Konsep monolitik tatapan ini akhirnya menuai kritik dari
kritikus lesbian seperti Deborah Bright dalam karya fotografinya yang dapat
dikatakan seperti ‘menganehkan tatapan’ untuk menunjukan alternatif sudut
pandang yang menyenangkan baik di dalam ataupun di luar pandangan mainstream.
Dari beberapa
intervensi dan kritik feminis dalam sejarah seni rupa telah menggambarkan
paradigma keilmuan teori seni feminis itu sendiri bahwa feminisme bergerak di
luar logika dualisme (positif atau negatif/ pikiran atau tubuh) untuk membuat
konsepsi ulang mengenai subjektivitas kelompok dan sejarah. Paradigma ini tidak
menghapuskan atau meminggirkan perbedaan dalam mendukung kebenaran yang
ortodoks dan pertimbangan nilai kanonik eksklusif dan narasi tunggal dalam
sejarah. Teori feminis merupakan sebagai mode dalam praktik untuk menyatukan
materi dan pemikiran, atau sebagai perwujudan dalam mempertahankan keragaman.
Smith, Paul & Carolyn Wilde. A Companion of Art Theory: Chapter 31. Feminism and Art Theory. Blackwell Publishing.
*S*
Comments
Post a Comment